Rabu, 23 Juni 2010

Menelusuri Jalur Perjalanan Si Gombar dari Soreang Menuju Ciwidey

foto : Adri Teguh Bey Haqqi
126 tahun yang lalu yaitu tahun 1884, untuk pertama kalinya Bandung kedatangan alat transportasi yang bernama Kereta Api (KA). KA pada saat itu masih berupa lokomotif yang dijalankan dengan tenaga uap.
“Si Gombar”-lah yang pertama kali menyinggahi kota Bandung. Dibukanya jalur KA di Bandung bertujuan untuk menghubungkan kota Bandung dengan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa terutama kota-kota yang berada di sebelah timur Bandung.

Jalur KA dibuat di Bandung sebagai perpanjangan jalur dari Batavia-Buitenzorg (1869) kemudian Buitenzorg-Sukabumi. Dibangunlah suatu perangkat yang sangat penting bagi lalu lintas KA yaitu Stasiun. Stasiun Bandung diresmikan pada tanggal 17 Mei 1884 yang bertepatan dengan hari jadi Perusahaan Kereta Api Negara (pada saat itu bernama Staats Spoorwegen atau biasa disingkat dengan SS). Untuk memperingati hari jadinya, dibuatlah tugu Triangulasi yang kemudian hari tugu tersebut diganti dengan lokomotif. Lokasinya di stasiun sebelah selatan.

Dengan adanya jalur KA, permasalahan mengenai sulitnya sarana dan prasarana transportasi di pulau Jawa saat itu dapat teratasi. Kemajuan kota Bandung pun tidak bisa lepas dari peranan KA. Berkat dibukanya jalur KA yang melintasi kota Bandung, menjadikan Bandung disinggahi banyak pendatang dari berbagai kota. Pembangunan seperti penginapan, hotel, rumah makan, tempat hiburan pun dilakukan untuk memfasilitasi kebutuhan para pendatang. Jadi dapat dikatakan pembangunan kota Bandung awalnya didasarkan pada kebutuhan warga kotanya sendiri selain juga dipersiapkan untuk dijadikan pusat pemerintahan menggantikan Batavia.

Untuk mempermudah akses para penumpang yang ingin menggunakan jasa angkutan ini, dibuatlah halte-halte di beberapa titik sepanjang jalur KA. Diantaranya halte Kiaracondong yang dibuat tahun 1923, Halte Andir yang juga dibuat tahun 1923, dan Halte Kiara Condong pada tahun 1925. Dari waktu ke waktu, penumpang yang menggunakan KA melalui halte-halte ini terus meningkat.

Bandung semakin berkembang sampai ke pinggiran kota. Jalur-jalur KA dibangun pula di beberapa daerah pedalaman (hinterland) seperti Jatinangor, Cicalengka, Ciwidey, Majalaya, Pangalengan. Jalur hinterland yang pertama dibangun yaitu jalur Bandung-Soreang (29 Km) di tahun 1921. Pada tahun yang sama dibangun pula jalur Rancaekek-Tanjungsari (12 Km). Tahun 1923 dibuat jalur Dayeuh Kolot-Majalaya dan satu tahun kemudian yaitu 1924 dibuat perpanjangan jalur dari Soreang ke Ciwidey (12 Km). Selanjutnya jalur Citeureup-Banjaran-Pangalengan. Jalur-jalur pendek tersebut dibuat menuju daerah-daerah perkebunan di sekitar Bandung. Tujuannya untuk mempermudah pengangkutan dan pendistribusian hasil perkebunan.

Jalur hinterland yang masih aktif sampai sekarang yaitu jalur yang menuju Cicalengka (dibuat tahun 1884). Sedangkan jalur-jalur lain kebanyakan sudah tidak lagi aktif, salah satunya jalur KA menuju Ciwidey. Jalur ini membuat kami -pegiat Aleut!- ingin menelusuri dan melihat langsung jembatan-jembatan yang dilewati “Si Gombar” pada waktu itu menuju daerah perkebunan di Ciwidey. Berangkatlah saya dan pegiat Aleut! di Minggu pagi (07/03) kemarin.

Saya dan 16 orang pegiat berkumpul di depan museum Sribaduga Tegallega. Pukul delapan pagi kami sudah berangkat naik angkutan umum yang kami sewa menuju Soreang. Sesampainya di Soreang, kami mulai menelusuri rel KA menuju Ciwidey. Tidak lama kami berjalan, kami sudah menemukan satu jembatan bernama Jembatan Sadu, berada di desa Cibeureum. Jembatan yang cukup besar dan masih kokoh, berangka besi. Kami melintasi jembatan ini dengan sungai Cibeureum di bawahnya. Awal perjalanan yang cukup menyenangkan dan memberi semangat karena tidak sabar ingin melihat dan melintasi jembatan-jembatan selanjutnya. Perjalanan 12 km yang kami tempuh selama ± 5 jam menambah pengalaman kami. Dengan menyusuri jalur rel, kami harus berjalan di area pesawahan, hutan bambu, sampai pinggir jalan raya. Sejumlah desa pun kami masuki mengikuti jalur KA Soreang-Ciwidey ini. Sepanjang perjalanan, kami melintasi delapan jembatan KA, dan satu halte. Jembatan-jembatan itu :

• Jembatan pertama tadi, Jembatan Sadu, berada di desa Cibeureum
• Jembatan ke-dua, Jembatan Cisondari, berada di desa Cisondari. Jembatan ini tidak sebesar jembatan yang pertama. Hanya jembatan kecil dan tidak mempunyai rangka besi.
• Jembatan ke-tiga, Jembatan Citawa, berada di desa Citawa.
• Jembatan ke-empat, Jembatan Ranca Goong, di desa Rancagoong, kecamatan Pasir Jambu.
• Jembatan ke-lima, Jembatan Ranca Geulis, di kampung Garung.
Setelah melewati kampung Garung, kami memasuki kampung Cukang Haur dimana terdapat bekas halte. Halte ini sekarang menjadi kandang kambing.
• Jembatan ke-enam, Jembatan Andir, di kampung Andir. Jembatan ini adalah jembatan terbesar dan tertinggi sepanjang jalur Soreang-Ciwidey. Sayang sekali kami tidak bisa melintasinya karena faktor keamanan. Jembatan dengan rangka besi ini panjangnya hampir 100 meter dengan tinggi ± 50 meter. Hiiiii …
• Jembatan ke-tujuh, Jembatan Kopeng di desa Kopeng. (Mohon dikoreksi kalau salah, lupa catet)
• Jembatan ke-delapan, (ini juga lupa catet) Jembatan Pasir Tilil ? Di daerah Pasir Tilil ini kami menemukan tuas pembelok rel (istilahnya apa ya?).

Berakhirlah penelusuran kami di Stasiun Cimuncang. Stasiun terakhir di Ciwidey. Stasiun ini sudah lama kosong dan tidak terawat.

Jalur ini beroperasi sampai sekitar tahun 1980-an. Setelah itu sudah tidak aktif lagi mungkin dikarenakan jumlah peminat yang mulai menurun. Kalau saja diaktifkan kembali, kita dapat berwisata ke Ciwidey melewati jembatan-jembatan kokoh, disuguhi pemandangan-pemandangan indah pegunungan Ciwidey. Ah andai saja .. Tetapi sepertinya tidak mungkin karena di sekitar rel sudah tumbuh perkampungan padat, rel-rel sudah ada yang tertanam oleh jalan aspal, bahkan ada pula rumah yang “nyéngclé” dengan santainya di atas badan rel. Yahh .. mau bagaimana lagi … Seperti yang dikatakan salah seorang teman Aleut!, Bagaimana bisa membuat, memeliharanya saja tidak bisa


Ref :
“Bandung 1906-1970 : Studi tentang perkembangan ekonomi kota” – Reiza D.Dienaputra dalam buku “Kota Lama, Kota Baru”, Ombak-Jogjakarta, 2005.
“Sejarah perkeretaapian Indonesia Jilid I” – Tim Telaga Bakti Nusantara, Angkasa-Bandung, 1997.
“Jendela Bandung” – Her Suganda, Kompas, 2007.


Sumber :
Asri "Cici" Mustikaati
http://aleut.multiply.com/journal/item/90
11 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar